Minggu, 18 November 2012

Dua nikmat yang sering terlupakan

Allah Ta’ala telah menciptakan
manusia dan memberikan kenikmatan
yang tidak terhingga. Manusia tidak
akan mampu menghitungnya.
Allah berfirman:
ﻥِﺇَﻭ ﺍﻭُّﺪُﻌَﺗ َﺔَﻤْﻌِﻧ ِﻪﻠﻟﺍ َﻻ َّﻥِﺇ ﺎَﻫﻮُﺼْﺤُﺗ
َﻪﻠﻟﺍ ٌﻢﻴِﺣَّﺭ ٌﺭﻮُﻔَﻐَﻟ
"Dan jika kamu menghitung-hitung
nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Qs. An-Nahl: 18)
NIKMAT SEHAT
Di antara kenikmatan Allah yang
sangat banyak adalah kesehatan.
Kesehatan merupakan kenikmatan
yang diakui setiap orang, memiliki
nilai yang besar. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah menyebutkan
hal ini dengan sabdanya:
ْﻦَﻣ َﺢَﺒْﺻَﺃ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ﻰًﻓﺎَﻌُﻣ ِﻩِﺪَﺴَﺟ ﻲِﻓ
ﺎًﻨِﻣﺁ ﻲِﻓ ِﻪِﺑْﺮِﺳ ُﺕﻮُﻗ ُﻩَﺪْﻨِﻋ ِﻪِﻣْﻮَﻳ
ﺎَﻤَّﻧَﺄَﻜَﻓ ُﻪَﻟ ْﺕَﺰﻴِﺣ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ
"Barangsiapa di antara kamu masuk
pada waktu pagi dalam keadaan sehat
badannya, aman pada keluarganya,
dia memiliki makanan pokoknya pada
hari itu, maka seolah-olah seluruh
dunia dikumpulkan untuknya." (HR.
Ibnu Majah, no: 4141; dan lain-lain;
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di
dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:
5918)
Kita melihat kenyataan manusia yang
rela mengeluarkan biaya yang besar
untuk berobat, ini bukti nyata
mahalnya kesehatan yang merupakan
kenikmatan dari Allah Ta’ala.
Akan tetapi kebanyakan manusia lalai
dari kenikmatan kesehatan ini, dia
akan ingat jika kesehatan hilang
darinya.
Diriwayatkan bahwa seseorang
mengadukan kemiskinannya dan
menampakkan kesusahannya kepada
seorang ‘alim. Maka orang ‘alim itu
berkata: “Apakah engkau senang
menjadi buta dengan mendapatkan 10
ribu dirham?”, dia menjawab:
“Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi:
“Apakah engkau senang menjadi bisu
dengan mendapatkan 10 ribu
dirham?”, dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah
engkau senang menjadi orang yang
tidak punya kedua tangan dan kedua
kaki dengan mendapatkan 20 ribu
dirham?”, dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah
engkau senang menjadi orang gila
dengan mendapatkan 10 ribu
dirham?”, dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata: “Apakah
engkau tidak malu mengadukan
Tuanmu (Allah subhanahu wa ta'ala )
sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu
dinar padamu”. (Lihat: Mukhtashar
Minhajul Qashidin, hlm: 366)
DUA KENIKMATAN, BANYAK MANUSIA
TERTIPU
Oleh karena itulah seorang hamba
hendaklah selalu mengingat-ingat
kenikmatan Allah yang berupa
kesehatan, kemudian bersyukur
kepada-Nya, dengan
memanfaatkannya untuk ketaatan
kepada-Nya. Jangan sampai menjadi
orang yang rugi, sebagaimana hadits
di bawah ini:
ْﻦَﻋ ِﻦْﺑﺍ ٍﺱﺎَّﺒَﻋ َﻲِﺿَﺭ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﺎَﻤُﻬْﻨَﻋ َﻝﺎَﻗ
َﻝﺎَﻗ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ
ِﻥﺎَﺘَﻤْﻌِﻧ ٌﻥﻮُﺒْﻐَﻣ ٌﺮﻴِﺜَﻛ ﺎَﻤِﻬﻴِﻓ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ْﻦِﻣ
ُﺔَّﺤِّﺼﻟﺍ ﺥ) ُﻍﺍَﺮَﻔْﻟﺍَﻭ 593
"Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dua kenikmatan, kebanyakan
manusia tertipu pada keduanya:
kesehatan dan waktu luang." (HR.
Bukhari, no: 5933)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata: “Kenikmatan adalah keadaan
yang baik, ada yang mengatakan
kenikmatan adalah manfaat yang
dilakukan dengan bentuk melakukan
kebaikan untuk orang lain." (Fathul
Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan
hadits no: 5933)
Kata “maghbuun” secara bahasa
artinya tertipu di dalam jual-beli,
atau lemah fikiran.
Al-Jauhari rahimahullah: “Berdasarkan
ini, kedua (makna itu) bisa dipakai di
dalam hadits ini. Karena
sesungguhnya orang yang tidak
menggunakan kesehatan dan waktu
luang di dalam apa yang
seharusnya, dia telah tertipu,
karena dia telah menjual keduanya
dengan murah, dan fikirannya
tentang hal itu tidaklah
terpuji." (Fathul Bari)
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
“Makna hadits ini bahwa seseorang
tidaklah menjadi orang yang longgar
(punya waktu luang) sehingga dia
tercukupi (kebutuhannya) dan sehat
badannya. Barangsiapa yang dua
perkara itu ada padanya, maka
hendaklah dia berusaha agar tidak
tertipu, yaitu meninggalkan syukur
kepada Allah terhadap nikmat yang
telah Dia berikan kepadanya. Dan
termasuk syukur kepada Allah adalah
melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan-
Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu
maka dia adalah orang yang
tertipu." (Fathul Bari)
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam di atas “kebanyakan
manusia tertipu pada keduanya” ini
mengisyaratkan bahwa orang yang
mendapatkan taufiq (bimbingan)
untuk itu, orangnya sedikit.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Kadang-kadang manusia itu sehat,
tetapi dia tidak longgar, karena
kesibukannya dengan penghidupan.
Dan kadang-kadang manusia itu
cukup (kebutuhannya), tetapi dia
tidak sehat. Maka jika keduanya
terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh
kemalasan melakukan kataatan, maka
dia adalah orang yang tertipu.
Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia
merupakan ladang akhirat, di dunia
ini terdapat perdagangan yang
keuntungannya akan nampak di
akhirat.
Maka barangsiapa menggunakan
waktu luangnya dan kesehatannya di
dalam ketaatan kepada Allah, maka
dia adalah orang yang pantas
diirikan. Dan barangsiapa
menggunakan keduanya di dalam
maksiat kepada Allah, maka dia adalah
orang yang tertipu. Karena waktu
luang akan diikuti oleh kesibukan,
dan kesehatan akan diikuti oleh
sakit, jika tidak terjadi maka masa
tua (pikun).
Sebagaimana dikatakan orang
“Panjangnya keselamatan
(kesehatan) dan tetap tinggal (di
dunia) menyenangkan pemuda. Namun
bagaimanakah engkau lihat
panjangnya keselamatan (kesehatan)
akan berbuat? Akan mengembalikan
seorang pemuda menjadi kesusahan
jika menginginkan berdiri dan
mengangkat (barang), setelah
(sebelumnya di waktu muda) tegak
dan sehat.” (Fathul Bari)
Ath-Thayyibi rahimahullah berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
membuat gambaran bagi mukallaf
(orang yang berakal dan dewasa)
dengan seorang pedagang yang
memiliki modal. Pedagang tersebut
mencari keuntungan dengan
keselamatan modalnya. Maka caranya
dalam hal itu adalah dia memilih orang
yang akan dia ajak berdagang, dia
selalu menetapi kejujuran dan
kecerdikan agar tidak merugi.
Kesehatan dan waktu luang adalah
modal, seharusnya dia (mukallaf)
berdagang dengan Allah dengan
keimanan, berjuang menundukkan
hawa-nafsu dan usuh agama, agar
dia mendapatkan keberuntungan
kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini
seperti firman Allah:
ﺎَﻬُّﻳَﺃﺎَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺍَﺀ ْﻞَﻫ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻜُّﻟُﺩَﺃ
ٍﺓَﺭﺎَﺠِﺗ ﻢُﻜﻴِﺠﻨُﺗ ْﻦِّﻣ ٍﻢﻴِﻟَﺃ ٍﺏﺍَﺬَﻋ
"Hai orang-orang yang beriman,
sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat
menyelamatkan kamu dari azab yang
pedih? (Qs. As-Shaaf: 10) dan ayat-
ayat berikutnya.
Berdasarkan itu dia wajib menjauhi
ketatan kepada hawa-nafsu dan
berdagang/kerja-sama dengan
setan agar modalnya tidak sia-sia
bersama keuntungannya.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
di dalam hadits tersebut
“kebanyakan manusia tertipu pada
keduanya” seperti firman Allah:
ٌﻞﻴِﻠَﻗَﻭ َﻱِﺩﺎَﺒِﻋ ْﻦِّﻣ ُﺭﻮُﻜَّﺸﻟﺍ
"Dan sedikit sekali dari hamba-
hamba-Ku yang berterima kasih." (Qs.
Sabaa': 13)
“Kebanyakan” di dalam hadits itu
sejajar dengan “sedikit” di dalam
ayat tersebut.” (Fathul Bari)
Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-‘Arabi
rahimahullah berkata: “Diperselisihkan
tentang kenikmatan Allah yang
pertama (yakni yang terbesar) atas
hamba. Ada yang mengatakan
“keimanan”, ada yang mengatakan
“kehidupan”, ada yang mengatakan
“kesehatan”. Yang pertama (yaitu
keimanan) lebih utama, karena hal itu
kenikmatan yang mutlak
(menyeluruh). Adapun kehidupan dan
kesehatan, maka keduanya adalah
kenikmatan duniawi, dan tidak
menjadi kenikmatan yang sebenarnya
kecuali jika disertai oleh keimanan.
Dan di waktu itulah banyak manusia
yang merugi, yakni keuntungan
mereka hilang atau berkurang.
Barangsiapa mengikuti hawa-
nafsunya yang banyak
memerintahkan keburukan, selalu
mengajak rileks, sehingga dia
meninggalkan batas-batas (Allah) dan
meninggalkan menekuni ketaatan,
maka dia telah merugi. Demikian juga
jika dia lonnggar, karena orang
yang sibuk kemungkinan memiliki
alasan, berbeda dengan orang yang
longgar, maka alasan hilang darinya
dan hujjah (argumen) tegak
atasnya." (Fathul Bari)
Maka sepantasnya hamba yang
berakal bersegera beramal shalih
selama kesempatan masih ada. Hanya
Allah Tempat memohon pertolongan.

Post by. Esti arsiyanti 15

0 komentar:

Posting Komentar

 
;